Hukum Perburuhan


Pengertian Perjanjian Perburuhan menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 Perjanjian Perburuhan merupakan perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat pekerja yang telah didaftarkan pada Kementrian Perburuhan (sekarang Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) dengan majikan, majikan-majikan, atau perkumpulan majikan yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat kerja yang harus diperhatikan di dalam Perjanjian Kerja.

Perjanjian Perburuhan juga disebut dengan istilah Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), hal ini dapat dilihat dari pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja Per-01/men/1985 yang menyatakan bahwa Kesepakatan Kerja Besama (KKB) adalah Perjanjian Perburuhan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 1954. Dalam prakteknya Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) ini juga disebut dengan Perjanjian Kerja Bersama (KKB).

Oleh karena memuat syarat-syarat kerja yang harus diperhatikan dalam membuat Perjanjian Kerja, maka Perjanjian Perburuhan merupakan induk dari perjanjian Kerja. Karena sebagai induk dari Perjanjian Kerja, apabila ada pertentangan antara penjanjian kerja dengan perjanjian induk, maka yang berlaku atau yang dianggap sah adalah Perjanjian Perburuhan. Hal-hal yang dianggap tidak sah dapat diajukan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam Perjanjian Perburuhan, yakni oleh serikat pekerja ataupun oleh pengusaha.

Dalam hal ini pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan sendiri perkaranya ke pengadilan.
Apabila dalam Perjanjian Kerja tidak memuat aturan-aturan atau syarat-syarat kerja yang ditetapkan di dalam Perjanjian Perburuhan, maka berlaku aturan atau
syarat-syarat kerja dalam Perjanjian Perburuhan itu. Namun sebaliknya, apabila dalam Perjanjian Kerja memuat aturan dan syarat-syarat kerja tertentu, yang dalam Perjanjian Perburuhan tidak ada, maka aturan dan syarat yang ada dalam Perjanjian Kerja itu batal atau tidak berlaku lagi.
Isi Perjanjian Perburuhan
Kalau ditinjau dari fungsinya sebagai induk dari Perjanjian Kerja, maka perjanjian Perburuhan ini pada umumnya mempunyai cakupan atau isi yang lebih luas dibanding Perjanjian Kerja. Secara umum isi Perjanjian Perburuhan akan menyangkut dua hal, yaitu syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formil.
1) Syarat Materiil
Dalam perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak, artinya bahwa para pihak bebas memutuskan isi dari perjanjian. Dalam Perjanjian Perburuhan adanya asas kebebasan berkontrak dinyatakan dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 yang berbunyi : Suatu Perjanjian Perburuhan tidak ada gunanya dan tidak ada tempatnya jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh pemerintah saja.

Namun demikian asas kebebasan berkontrak dalam membuat Perjanjian Perburuhan dibatasi dengan syarat-syarat materiil sebagai berikut :

a) Hanya di dalam lingkungan yang ada pemerintah dianggap layak. Berarti tidak semua tempat kerja dapat membuat Perjanjian Perburuhan.

b) Tidak boleh memuat sesuatu aturan yang mewajibkan seorang pengusaha hanya menerima atau menolak pekerja atau mewajibkan seorang pekerja supaya hanya bekerja atau tidak bekerja pada pengusaha dari suatu golongan, baik berkenaan dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun karena keyanikan politik atau anggota suatu perkumpulan. Hal ini untuk menghindari timbulnya monopolistic baik oleh pekerja maupun pengusaha.

1) Syarat-syarat formil

Perjanjian Perburuhan diatur dalam PP No 49 th 1954, sbb :

a. Perjanjian Perburuhan harus tertulis, dalam bentuk akta resmi (disahkan pejabat berwenang) atau akta di bawah tangan (hanya ditandatangani pekerja dan pengusaha)
b. Harus memuat:
- Nama, tempat kedudukan, alamat serikat pekerja
- Pengusaha
- Nomor dan tanggal pendaftaran P pada Depnaker
c. Dibubuhi tanggal tanda tangan kedua belah pihak
d. Minimal rangkap tiga


Hak dan Kewajiban Pengusaha/Perusahaan
I. HAK PENGUSAHA
 1. Berhak sepenuhnya atas hasil kerja pekerja.
2. Berhak atas ditaatinya aturan kerja oleh pekerjatermasuk pemberiansanksi
3. Berhak atas perlakuan yang hormat dari pekerja
4. Berhak melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh pengusaha
II. KEWAJIBAN PENGUSAHA
1. Memberikan ijin kepada buruh untuk beristirahatmenjalankankewajiban menurut agamanya
2. Dilarang memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jamseminggukecuali ada ijin penyimpangan
3. Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan perempuan
4. Bagi perusahaan yang memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajibmembuat peraturan perusahaan
5. Wajib membayar upah pekerja pada saat istirahat / libur pada hari liburresmi
6. Wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja yangtelah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih
7. Wajib mengikuti sertakan dalam program Jamsostek

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Sanksi pelanggaran dalam Kontrak Kerja


Bila terjadi pelanggaran terhadap kontrak, yaitu tidak dipenuhinya isi kontrak, maka mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh seperti yang diatur dalam isi kontrak karena kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur tentang sanksi dimana pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3).
Secara prinsip isinya sebagai berikut, barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (saat berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5 % (lima persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat penerapan Sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain yaitu denda.
Persoalannya selama ini pelanggaran janji selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam hal kontrak kerja konstruksi untuk proyek yang dibiayai uang negara baik itu APBD atau APBN dimana pelanggaran janji selalu dihubungkan dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi UU No 20 Tahun 2001, Pasal 2 ayat (1) yang menjelaskan unsur-unsurnya adalah:
 1.  Perbuatan melawan hukum;
 2.  Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
 3.  Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
 4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Dalam kasus pidana korupsi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana pasal tersebut harus dapat dibuktikan secara hukum formil apakah tindakan seseorang dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sehingga dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara.
            Kemudian institusi yang berhak untuk menentukan kerugian Negara dapat dilihat di UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang menyebutkan  BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Jika BPK menemukan kerugian Negara tetapi tidak ditemukan unsur pidana sebagaimana UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, maka aparat penyidik dapat memberlakukan pasal 32  ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yaitu : Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Pasal ini memberikan kesempatan terhadap gugatan perdata untuk perbuatan hukum yang tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, namun perbuatan tersebut dapat dan/atau berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan apabila terjadi kerugian negara maka upaya penuntutan tindak pidana korupsi bukan merupakan satu-satunya cara, akan tetapi ada cara penyelesaian yang lain yaitu cara penyelesaian masalah melalui gugatan perdata

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Hukum Perikatan dalam Jasa Konstruksi


Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan,peristiwa atau keadaan. Salah satu bentuk dari hukum perikatan adalah kontrak kerja.
Agar pihak pemberi tugas dan pelaksana tugas tidak ada yang merasa dirugikan dan puas akan pekerjaan tsb maka perlu dibuat suatu kontrak kerja sehingga masing-masing pihak dapat menyadari,memahami dan melaksanakan kewajibannya serta mengetahui apa-apa saja yang menjadi haknya dan apabila salah satu pihak merasa dirugikan karena terdapat hal - hal yang tidak dilaksanakan pihak lainnya,yang sudah tercantum dalam kontrak kerja, maka pihak tersebut dapat memberikan sanksi kepada pihak lainnya yang telah disepakati bersama, dapat pula menuntutnya ke pengadilan.

Kontrak kerja ada dalam banyak bidang pekerjaan namun kali ini saya akan membahas kontrak kerja antara pemborong dengan owner.Pemborong atau kontraktor adalah pihak yang melaksanakan suatu proses pembangunan sedangkan owner adalah pemberi tugas atau pemilik proyek.

Di awal kontrak dijelaskan mengenai data dari kedua belah pihak seperti nama,alamat,nomor telepon dan jabatan dan ditetapkan siapa yang akan menjadi pihak pertama dan siapa yang akan menjadi pihak kedua karena dalam isi kontrak kerja hanya akan disebutkan "phak pertama" dan "pihak kedua" tanpa menyebutkan nama dari si pemborong maupun si owner. selain itu dicantumkan juga bahwa kedua belah pihak telah menyetujui untuk mengadakan suatu ikatan kontrak.



Menurut Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) No.18 Tahun 1999 definisi kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan untuk mendapatkan hubungan hukum yang sah dapat dilihat di KUH Perdata  pasal 1320, bahwa untuk diakui oleh hukum maka setiap perjanjian harus memenuhi persyaratan sebagai berikut;
-Pertama, sepakat mereka mengikatkan diri,
-Kedua, kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
-Ketiga, oleh karena suatu hal tertentu,
-Keempat, suatu sebab yang halal.
Apabila hubungan hukum tersebut dapat dinyatakan sah sebagaimana KUH Perdata pasal 1320 diatas maka pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagaimana Undang- undang bagi mereka yang membuatnya.
Dari Penjelasan ini berarti bahwa dimensi hukum dalam kontrak kerja konstuksi adalah dimensi hukum perdata, bukan hukum pidana dan dalam konteks ini, kontrak kerja konstruksi tunduk pada Pasal 1320 KUH Perdata. Sehingga kedudukan hukum bagi pihak-pihak yang terdapat dalam kontrak adalah kedudukan sebagai pihak-pihak dalam hukum private.

Contoh kontrak kerja :

KONTRAK
PELAKSANAAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN RUMAH TINGGAL
antara
CV. Maju jaya
dengan
…………………………………………………
_________________________________________________________________
Nomor : …………………….
Tanggal : …………………….
Pada hari ini ………, tanggal ……………kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ………………………………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………………………………
Telepon : ………………………………………………………………………………
Jabatan : ………………………………………………………………………………
Dalam hal ini bertindak atas nama CV. Maju jaya dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
dan
Nama : ………………………………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………………………………
Telepon : ………………………………………………………………………………
Jabatan : ………………………………………………………………………………
Dalam hal ini bertindak atas nama Pemilik atau Kuasa Pemilik dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatan Kontrak Pelaksanaan Pekerjaan Pembangunan Rumah Tinggal yang dimiliki oleh Pihak Kedua yang terletak di ……………………………………………………………………………………
Pihak Pertama bersedia untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan, yang pembiayaannya ditanggung oleh Pihak Kedua, dengan ketentuan yang disebutkan dalam pasal pasal sebagai berikut :
Setelah itu akan dicantumkan pasal - pasal yang menjelaskan tentang tujuan kontrak,bentuk pekerjaan,sistem pekerjaan,sistem pembayaran,jangka waktu pengerjaan,sanksi-sanksi yang akan dikenakan apabila salah satu pihak melakukan pelanggaran kontrak kerja,dsb.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Pengaplikasian UU No 26 Thn 2007


Penataan ruang sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pembangunan telah memiliki
landasan hukum sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang. Dengan penataan ruang diharapkan dapat terwujud ruang kehidupan yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Tetapi hingga saat ini kondisi yang tercipta
masih belum sesuai dengan harapan. Hal ini terlihat dari tantangan yang terjadi terutama
semakin meningkatnya permasalahan bencana banjir dan longsor; semakin meningkatnya
kemacetan lalu lintas di kawasan perkotaan; belum terselesaikannya masalah permukiman
kumuh; semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan;
serta belum terpecahkannya masalah ketidakseimbangan perkembangan antarwilayah.
Berbagai permasalahan tersebut mencerminkan bahwa penerapan UU No. 24/1992 tentang
Penataan Ruang belum sepenuhnya efektif dalam menyelesaikan permasalahan yang ada,
terutama memberikan arahan kepada seluruh pemangku kepentingan dalam
penyelenggaraan penataan ruang guna mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan. Kondisi ini merupakan latar belakang dari penyusunan dan
pemberlakuan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) yang
dimaksudkan untuk memperkuat norma penyelenggaraan penataan ruang yang sebelumnya
diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Adanya berbagai ketentuan baru dalam UUPR memiliki implikasi terhadap berbagai aspek
penyelenggaraan penataan ruang, baik aspek kelembagaan, aspek hukum, aspek teknis, serta
aspek sosiologis. Implikasi terhadap aspek kelembagaan mencakup implikasi terhadap
tatanan organisasi penyelenggara pemerintahan, tata laksana, dan kualifikasi sumber daya
manusia, baik yang bekerja pada sektor publik (pemerintah), swasta, maupun masyarakat
pada umumnya. Makalah ini akan membahas garis besar implikasi penerapan UUPR
terhadap kebutuhan peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya para perencana
ruang serta peran asosiasi profesi perencana (IAP) ikut dalam merespon perubahan yang
terjadi.


ISU STRATEGIS PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PASCA
PEMBERLAKUAN UUPR

Beberapa ketentuan baru berikut isu terkait penerapannya adalah sebagai berikut:
1. Pembagian kewenangan secara tegas antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.
2. Penegasan muatan rencana tata ruang

    Ketentuan tersebut di atas menuntut kualitas rencana tata ruang wilayah yang tinggi, di
    mana rencana tata ruang wilayah harus memperhatikan:
    a. perkembangan lingkungan strategis (global, regional, nasional);
    b. upaya pemerataan pembangunan;
    c. keselarasan pembangunan nasional dan daerah;
    d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
    e. rencana tata ruang yang terkait dengan wilayah perencanaan (rencana tata ruang
        wilayah administratif yang lebih tinggi/lebih rendah; rencana rinci tata ruang dari
        wilayah administrasi yang lebih tinggi; serta rencana tata ruang wilayah dari daerah
        yang berbatasan)
3. Sifat komplementer antara RTRWN, RTRWP, dan RTRWK
4. Penerapan standar pelayanan minimal dalam penyelenggaraan penataan ruang
5. Perhatian yang lebih besar terhadap kelestarian lingkungan hidup
6. Keterkaitan antara rencana tata ruang dengan program pembangunan
7. Penegasan mengenai hak masyarakat
8. Penegasan kewajiban dan larangan serta ketentuan sanksi
9. Batas waktu penyesuaian rencana tata ruang dengan ketentuan UUPR

Sumber -sumber :

http://budisud.community.undip.ac.id/files/2010/08/BAB-1-pdf.pdf
http://mulyanto.staff.uns.ac.id/wp-content/blogs.dir/4/files//2008/12/pranata-hukum.ppt./
http://wwww.google.com/
Buku Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.
UU PRI




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

UU No 6 Thn 2007


KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola
ruang.
3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis
memiliki hubungan fungsional.
4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budi daya.
5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan
yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan,
dan pengawasan penataan ruang.
7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya
pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam
penataan ruang.

10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk
meningkatkan kinerja penataan ruang yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya
pencapaian tujuan penataan ruang melalui
pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar
penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang yang
meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata
ruang.
14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai
dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan
pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya
untuk mewujudkan tertib tata ruang.
16. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata
ruang.
17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait yang batas
dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional.
18. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola
ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada
tingkat wilayah.
19. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang
dan pola ruang yang mempunyai jangkauan
pelayanan pada tingkat internal perkotaan.
20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi
utama lindung atau budi daya.
21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas
dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri
atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah
perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan
hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan
sistem agrobisnis.
25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
26. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan
yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang
berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan
kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling
memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan
dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang
terintegrasi dengan jumlah penduduk secara
keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu
juta) jiwa.
27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang
terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan
metropolitan yang memiliki hubungan fungsional
dan membentuk sebuah sistem.
28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah
ditetapkan sebagai warisan dunia.
29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.
30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah
yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.
31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam.
32. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang
dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
33. Orang adalah orang perseorangan dan/atau
korporasi.
34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam bidang penataan
ruang.

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,
penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas:
a. keterpaduan;
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan;
f. kebersamaan dan kemitraan;
g. pelindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan
i. akuntabilitas.
Pasal 3
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam
dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber
daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang.


KLASIFIKASI PENATAAN RUANG

Pasal 4
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem,
fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan.

Pasal 5
(1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas
sistem wilayah dan sistem internal perkotaan.
(2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan
terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi
daya.
(3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif
terdiri atas penataan ruang wilayah nasional,


penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota.
(4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan
terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan
penataan ruang kawasan perdesaan.
(5) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan
terdiri atas penataan ruang kawasan strategis
nasional, penataan ruang kawasan strategis
provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.

Pasal 6
(1) Penataan ruang diselenggarakan dengan
memperhatikan:
a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang rentan terhadap bencana;
b. potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan; kondisi
ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum,
pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu
kesatuan; dan
c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
(2) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang
wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan
komplementer.
(3) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang
wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional
yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan.
(4) Penataan ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur
dengan undang-undang tersendiri.





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

UU No 4 Thn 1992


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
UMUM
Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Dasar
1945 dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan
pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju
dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang
sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan
demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata,
tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk
memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya.
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilihan setiap
pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman harus ditangani secara nasional
karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah akan tetapi harus digunakan dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannya harus dikelola dan
dikendalikan oleh pemerintah agar supaya penggunaan dan pemanfaatannya dapat menjangkau masyarakat
secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya
masyarakat.
Untuk mewujudkan perumahan dan permukiman dalam rangka memenuhi kebutuhan jangka
pendek, menengah dan panjang dan sedang dengan rencana tata ruang, suatu wilayah permukiman
ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder
lingkungan.
Penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman mendorong dan memperkukuh
demokrasi ekonomi serta memberikan kesempatan yang sama dan saling menunjang antara badan usaha
negara, koperasi, dan swasta berdasarkan asas kekeluargaan.
Pembangunan di bidang perumahan dan permukiman yang bertumpu pada masyarakat
memberikan hak dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta.
Disamping usaha peningkatan pembangunan perumahan dan permukiman perlu diwujudkan
adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.
Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan permukiman,
pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud
pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian
dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek terkait antara lain tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan,
sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan.


Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok pengelolaan lingkungan hidup memberikan landasan bagi kewajiban melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan perumahan dan permukiman, sejalan dengan kewajiban setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan pembangunan rumah atau perumahan untuk memenuhi persyaratan teknis, ekologis, dan administratif.


KETENTUAN UMUM

Pasal 1
menerangkan tentang pengertian rumah,perumahan,permukiman,satuan lingkungan permukiman,prasarana lingkungan,sarana lingkungan,utilitas umum,kawasan siap bangun,lingkungan siap bangun,kavling tanah matang dan konsolidasi tanah permukiman.

Pasal 2 (terdiri dari 2 ayat)
menerangkan bahwa lingkup pengaturan undang-undang tersebut dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3
menerangkan bahwa penataan perumahan dan pemukiman berlandaskan pada asas manfaat,adil dan merata,kebersamaan dan kekeluargaan,kepercayaan pada diri sendiri,ketrjangkauan dan kelestarian lingkungan hidup


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments